kau melambai
memancing asa yang kering
‘tuk coba rasa kelembutanmu
di antara batu-batu yang menghimpit nafas
puaskan dahaga akan peristirahatan
dari tulang belulang yang lelah gontai oleh badai
di balik kelir kecoklatan
kau mengintipku
sedang bersembunyi dalam gincu merah
dan bau parfum yang tajam
membius yang lalu lalang
agar datanglah tubuhnya
dan hilang hati
pada hari yang sama
detik yang itu-itu juga
siapa kamu
wahai bulir malamku
yang menyambangi peraduanku
tiap aku tersirap kebutaan dunia
kala aku membasuh diri dengan air mata malaikat maut
yang mengalir di bawah tempat tidurku
kupanggil dirimu
namun kau lenyap
meninggalkanku dalam ingin
menarikku dengan jawab di ujung bayangan
dan kuingat
di suatu hari yang kelabu
kau selipkan sebuah kompilasi jazz
tentang masa kecilmu
ibumu, ayahmu, dan anjing-anjing mereka
dan pilu kudengar nada-nadamu
kau bertanya, “kapankah kau tanggalkan matamu untuk keabadian?”
dalam impian, kekasih
ketika syair-syair hentikan pelariannya dalam kepalaku
syair berkelana ke bilik-bilik penguasa
mengendus-ngendus bau kejayaan
mencari-cari celah ketololan
di balik kutang dan taburan gairah
syair sekali berbisik padaku
kata-kata itu menyesatkan
karena jaranglah kata menjawab nyata
kata berputar bolak balik dihantam kata lagi
dan tidaklah kau akan dengar gemerisik kaki menyusup di antara langkah
dengki yang membakar tungku dendam
akan menculikmu di suatu hari yang tuli
hingga pada babak terakhir,
kau isi sesal dan rasa kehilangan
yang mungkin akan dijadikan sebuah naskah oleh penulis yang terlalu awas
menghibur orang-orang yang haus akan air mata dan kasihan
agar mereka dapat hibur dirinya sendiri kembali,
bahwa hidup mereka lebih beruntung
daripada si tokoh yang tragis dan buntung
dunia ini gila
aku pun menghabiskan tenagaku untuk berakting gila
sambil mempertaruhkan diri untuk tidak ikut-ikut gila
namun apa itu waras? apa itu gila?
mereka bilang tipis batasnya
cendikiawan berkelakar, itu hanya masalah persepsi
kalau begitu, apakah persepsi menjerat masyarakat mudarat?
apa kau simak ceritaku, kekasih
meski ragamu tak di sini
dan adamu mungkin hanya dalam mimpi?
image, courtesy of djawatempodoeloe.multiply.com
>> Kirana (2)