Delapan tahun kemudian, sebuah talkshow di stasiun televisi swasta nasional membahas berita yang akhir-akhir menjadi kegemparan dan keresahan nasional. Dua minggu yang lalu, hotel ternama berkelas internasional telah dibom dan peristiwa tersebut menewaskan 15 orang dan 126 orang luka-luka. Saat seorang pakar terorisme nasional menceritakan bagaimana proses perekrutan jaringan teroris, Juminten sedang di dapur menyiapkan kocokan telor bebek dan telor ayam untuk digoreng. Sebulan yang lalu, setelah bertahun-tahun tiada kabar dari anaknya, di antara pertanyaan apakah anaknya sudah mati atau masih hidup, Juminten menerima surat dari anaknya. Katanya di situ, Bencong akan pulang sebentar lagi. Dipenuhi kebahagiaan dan harapan, setiap hari Juminten menyiapkan masakan kesukaan anaknya, kalau-kalau anaknya tiba-tiba pulang. Ia telah membayangkan berkali-kali peristiwa ini akan tiba, anaknya pulang, dan mereka berpelukan, saling menangis, melepas rindu, dan mengucap kata maaf. Selesai ia mandi, Juminten berlatih di depan cermin untuk menyempurnakan pertemuannya dengan anaknya nanti, anak yang telah ia rindukan, anak yang ingin ia mintai maaf sebelum nanti ia akhirnya masuk ke liang lahat.
Setelah minyak di kuali panas, Juminten hendak memasukkan kocokan telur tersebut. Namun seekor semut menggigit ibu jari kakinya. Juminten kesakitan. Ia memasukkan kocokan telur tersebut terlalu cepat dan minyak panas menjentik ke tangannya. “Syaiton laknat,” serunya. Tiba-tiba ia mendengar pintunya diketuk. Perhatian Juminten terbagi antara menyelesaikan menggoreng telur itu atau membuka pintu terlebih dahulu. Namun pintu itu diketuk semakin kencang, menyiratkan sang tamu tidak mau menunggu lebih lama lagi. Karena panik, Juminten meninggalkan dapurnya dan langsung membukakan pintu.
Dua orang polisi dan lebih banyak lagi polisi di belakangnya, apakah betul Juminten ibu dari Ben Lu. Juminten bingung, “Bukannya Ben Lu itu teroris yang tukang ngebom itu,” tanyanya lugu. “Betul, Bu. Apakah Ibu Juminten ini ibu Ben Lu?” Juminten tertawa, “Ya bukanlah Pak, Bapak ada-ada saja.”
“Apa ibu kenal Ben Lu?”, tanya polisi itu lagi. Juminten misuh-misuh dalam hati, ia benci teroris, bahkan sejak ia nonton di berita tentang pengeboman itu, ia mengutuk-ngutuk teroris itu dijemput oleh syaiton-syaiton neraka. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya bahwa ada manusia-manusia yang lebih buruk darinya dan lebih pantas masuk ke neraka. Lamunan Juminten buyar, ketika polisi itu bertanya hampir berteriak, “Ibu yakin ibu tidak kenal Ben Lu?” “Ndak pak, saya ndak kenal Ben…” Saat itu, tiba-tiba ingatannya kembali ke tahun-tahun silam, saat ia menjemput anaknya di rumah orangtuanya, saat ia merayu bapak dan ibunya untuk membiarkan ia membawa anaknya, saat ia bilang, “Aku kangen Ben.” Semuanya kembali bertubi-tubi, pandangannya makin kabur dan samar-samar sebelum rohnya terserap oleh gelap, ia ingat lagi isi surat itu, “Aku sebentar lagi pulang, bu. Aku berhasil cari surga buat ibu.”
—–
Di atas sana
Tidak ada Tuhan
Di bawah sana
Tidak ada Tuhan
Tuhan ada di antara saya
Tuhan ada di antara kamu
Tuhan ada di antara kita semua
Tuhan juga ada dalam kata-kata ini
Biarkanlah Tuhan menuntunmu dalam berkata
Berbuat
Berpikir
Juga dalam ingin dan anganmu
Surga bukan di antara malaikat
Bukan pula di telapak kaki siapapun
Tapi surga ada dalam cinta
Dalam kasih sayang, dan dalam penerimaan
Tuhan ingin kamu bahagia
Bukan menjerat diri dalam rasa bersalah dan sedih berkepanjangan