Teman saya, punya orangtua yang sangat menuntut. Diskriminatif terhadapnya, katanya, suka mencari-cari kesalahan. Menurutnya, masalah keluarga, hubungan dengan orangtua, terlalu kompleks dan tak mungkin terselesaikan. Akhirnya ia menghindarinya dengan sering beraktivitas di luar rumah dan apabila di rumah, jarang berkomunikasi, dalam arti, berbicara dari hati ke hati. Saya juga melakukannya. Awal-awal saya kuliah, saya sering pulang sore atau malam. Alasan saya, saya ikut banyak kegiatan dan organisasi (memang benar). Kalau ditanya-tanya hal yang sensitif, saya pilih bohong daripada bermasalah.
Masalah keluarga dari dulu dari jaman dahulu memang pelik. Banyak kasus yang disebabkan oleh keluarga. Misalnya seseorang melacurkan diri karena mengalami pelecehan seksual oleh salah seorang anggota keluarganya, minum-minum atau menggunakan narkoba karena ayah dan ibu bertengkar terus sampai bercerai (dan masalah keluarga lainnya), kepribadian ganda (dan kasus psikopatologis lainnya), bunuh diri, dan sebagainya. Intinya keluarga sangat penting dalam kehidupan seseorang.
Ketika janin terbentuk, ia sudah berurusan dengan keluarga, dengan ibunya. Ketika lahir (‘normal’nya), ia harus berhadapan lagi dengan anggota keluarga baru, ayah. Kalau ada, kakak. Untuk bisa hidup, anak tersebut harus berhubungan dengan anggota keluarganya. Anggota keluarga yang beragam kepribadiannya dan punya ekspektasi yang berbeda-beda pula untuk masung-masing anggota keluarga. Dalam mengkomunikasikan harapannya, mereka punya cara yang berbeda-beda. Beruntung kalau mereka demokratis. Kalau otoriter? Bagus kalau pembicaraan dilakukan secara dewasa. Kalau pertengkaran jadi bahasa lumrah? Paling baik diselesaikan secara intern. Namun bagaimana apabila penyelesaian tak kunjung ditemu? Mau minta bantuan orang lain, meskipun masih terhitung keluarga (kakek nenek, paman bibi, dan sebagainya), susah. Bisa tambah panjang. Ada urusan gengsi nama baik keluarga di sini. Makanya saya juga tidak berani ikut campur urusan keluarga orang lain.
Penyelesaian yang baik, ada macam-macam, relatif. Bisa komunikasi terbuka, berhadapan langsung dengan masalah (kalau mungkin). Bisa juga lari, pura-pura tidak tahu, menghindari kontak dengan potensi masalah (misalnya, biasanya ketemu ibu langsung berantem, kurangi frekuensi ketemu). Tergantung apa masalahnya, dan situasi-situasi yang melingkupi, baik yang kondusif maupun yang menghambat masalah selesai. Jawaban saya memang jatuh-jatuhnya ke relativisme. Sudah saya bilang sebelumnya, masalah keluarga itu rumit dan saya sendiri punya masalah keluarga yang tak terselesaikan sebelumnya. Namun menurut saya, ada satu hal penting yang harus dimiliki sebelum melangkah ke penyelesaian selanjutnya, seperti yang saya juga bilang ke mantan pacar saya, sabar dan tabah.